PENDIDIKAN MAHAL, DIMANA TANGGUNG JAWAB NEGARA?

Kesulitan demi kesulitan tampaknya akan terus menggelayuti rakyat Indonesia yang mayoritas Muslim. Entah sampai kapan. Betapa tidak, di tengah kesulitan ekonomi yang masih membelit, kini rakyat harus menanggung beban baru, yakni biaya pendidikan yang semakin mahal. Program ‘wajar’ (baca: wajib belajar) yang sudah lama dicanangkan Pemerintah tampaknya semakin tidak wajar. Sebab, wajib belajar kini seolah identik dengan wajib membayar mahal biaya pendidikan. Artinya, secara tidak langsung, tuntutan kepada masyarakat agar turut mensukseskan program wajib belajar pada dasarnya tidak ada bedanya dengan tuntutan kepada mereka agar wajib mengeluarkan biaya pendidikan yang mahal itu.
Sebagai contoh, untuk masuk ke jenjang pendidikan dasar (SD-SMP), para orangtua harus mengeluarkan dana yang cukup besar karena sekolah telah mematok sumbangan pembangunan/biaya gedung antara Rp 1-3,5 juta persiswa untuk sekolah swasta. Untuk sekolah negeri, biaya yang harus dikeluarkan paling tidak setengahnya.
Belum lagi gonjang-ganjing otonomi kampus dengan model Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Setiap universitas yang berstatus BHMN ‘diberikan hak’ untuk mengelola pembiayaan pendidikannya. Artinya, pemerintah telah melimpahkan tanggung jawab pengelolaan pendidikan tinggi kepada BHMN bersangkutan. Berdasarkan hal ini, setiap BHMN yang ada harus berupaya secara mandiri untuk memenuhi seluruh pembiayaan pendidikannya.
Dengan keterbatasan dana yang dimiliki, akhirnya sebagian besar BHMN yang ada mengeluarkan kebijakan ‘jalur khusus’ penerimaan mahasiswa baru. Setiap calon mahasiswa dapat dengan mudah diterima di salah satu BHMN yang ada dengan menyertakan ‘sejumlah uang’. Alasannya, semua itu digunakan untuk subsidi silang bagi mahasiswa yang berlatar belakang tidak mampu secara ekonomi. Sejumlah uang yang harus ‘disetor’ pun tidak tanggung-tanggung jumlahnya, berkisar Rp 45-100 juta rupiah. Itu belum termasuk biaya pendidikan persemesternya. Sementara itu, secara umum, biaya yang harus dikeluarkan calon mahasiswa baru yang akan masuk sebesar Rp 3-4 juta setiap tahunnya. Dengan nilai tersebut, mana mungkin masyarakat menengah ke bawah mampu masuk ke universitas yang berstatus BHMN tersebut yang notabene merupakan universitas unggulan.
Logika mudahnya, Upah Minimum Daerah (UMD) rata-rata berkisar 600 ribu. Jika ditambah dengan tunjungan-tunjangan yang ada maka total pendapatan pekerja minimal Rp 900 ribu setiap bulannya. Bila setiap bulan pengeluaran minimal (dengan jumlah keluarga tiga orang: ayah, ibu, dan satu anak masih kecil) untuk keperluan makan Rp 300 ribu, transportasi Rp 200 ribu, listrik Rp 40 ribu, air Rp 30 ribu, pakaian Rp 50 ribu, dan kesehatan Rp 50 ribu, maka minimal pengeluaran setiap bulannya sebesar adalah Rp 670 ribu. Artinya, sisa pendapatan sebesar 230 ribu. Jumlah uang tersebut tentu jauh dari harapan jika harus menyekolahkan anak-anaknya ke jenjang lebih tinggi. Hanya untuk menyekolahkan anak sampai ke jenjang SD saja sudah kerepotan, apalagi ke jenjang perguruan tinggi.

Menelusuri Akar Masalah
Mengapa demikian? Ada dua alasan pokok mengapa sekolah-sekolah atau perguruan tinggi yang menetapkan biaya pendidikan begitu mahal.
Pertama, subsidi pemerintah kepada sekolah/perguruan tinggi yang terus dikurangi. Pemerintah beralasan tidak mempunyai cukup dana guna menopang seluruh pembiayaan hingga pendidikan nasional agar berjalan secara optimal. Padahal negara ini memiliki kekayaan alam melimpah ruah. Pada kemana kekayaan alam yang seharusnya untuk mensejahterakan rakyat?
Kedua, dengan alasan di atas, akhirnya setiap sekolah menaikkan biaya pendidikannya. Sebab, tidak ada jalan lain kecuali hanya dengan menaikkan biaya pendidikan. Kalau pun sekolah berwirausaha atau berdagang, tentu akan sangat membebani lembaga pendidikan; di satu sisi harus berkonsentrasi pada penjagaan mutu dan kualitas pendidikannya, sementara di sisi lain harus mengembangkan sayap bisnisnya guna menutupi biaya pendidikan.
Semua ini muncul setelah pemerintah mengeluarkan kebijakan pengelolaan pendidikan berbasis sekolah. Artinya, pendidikan bukan lagi menjadi tanggung jawab pemerintah, namun menjadi tanggung jawab sekolah (baca: masyarakat). Artinya, segala hal ikhwal yang terkait dengan pendidikan, baik dari segi pembiayaan, pengelolaan, penjagaan mutu pendidikan, dan lain sebagainya merupakan tanggung jawab masyarakat. Ini jelas menunjukkan bahwa pemerintah seolah sudah ‘lepas tangan’ dalam mengurusi pendidikan rakyatnya. Artinya, pemerintah sedikit demi sedikit akan terus mengurangi perannya sebagai pelayan dan pengayom rakyat, khususnya dalam bidang pendidikan. Ironis!
Bukankah mencerdaskan kehidupan rakyat merupakan tujuan adanya negara ini dan merupakan amanat penderitaan rakyat yang ada di pundak kepala negara?

Dampak Kapitalisasi Pendidikan
Adanya kapitalisasi pendidikan jelas pada akhirnya membawa dampak yang luar biasa dalam seluruh aspek kehidupan.
Pertama, di negeri muslim ini kapitalisasi pendidikan sejatinya merupakan pelanggaran terhadap hukum syariat. Sebab, dalam pandangan Islam, belajar merupakan kewajiban bagi setiap Muslim; baik laki-laki maupun perempuan, besar ataupun kecil, muda maupun tua. Setiap Muslim berkewajiban untuk menempuh pendidikan. Rasulullah saw. Bersabda:
«طَلَبُ اْلعِلْمِ فَرِيْـضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْـلِمٍ»
Menuntut ilmu adalah wajib bagi setiap Muslim. (HR Ibn Adi dan al-Baihaqi dari Abnas r.a.; Ath-Thabrani dan al-Khatib dari al-Husain bin ‘Ali).

Sabda Rasulullah saw. di atas jelas membidik dua pihak sekaligus: rakyat (dalam hal ini setiap Muslim) dan pemerintah/penguasa. Setiap Muslim wajib menempuh pendidikan dan pemerintah, sebagai pelayan rakyat, wajib mengusahakannya, karena pada faktanya pendidikan memerlukan biaya dan fasilitas—yang tidak setiap orang mampu memenuhinya. Dengan kata lain, kewajiban pemerintahlah—bukan rakyat—untuk menyediakan sarana dan prasarana serta seluruh kebutuhan bagi terselenggaranya pendidikan yang memadai lagi berkualitas bagi setiap orang tanpa kompensasi apa pun—baca: harus gratis) atau dengan biaya yang sangat murah sekali.
Gambaran di atas berbeda jauh dengan kondisi saat ini. Dengan adanya kapitalisasi pendidikan, masyarakat justru dipaksa untuk mengeluarkan uang sangat besar guna mendapatkan pendidikan yang layak.
Kedua, pembodohan sistematis. Dengan adanya biaya tinggi dalam pendidikan, akhirnya hanya orang-orang yang berduitlah yang mempunyai peluang besar mengenyam pendidikan yang layak lagi bermutu. Sebaliknya, bagi masyarakat yang tidak mampu, pendidikan akhirnya menjadi impian yang jauh di awan.
Bila kondisi ini terus berlangsung, maka bisa dipastikan akan terjadi kesenjangan sosial. Yang kaya mempunyai peluang yang sangat besar untuk menempa diri dan menimba ilmu setinggi-tingginya. Sebaliknya, masyarakat yang tidak mampu semakin bodoh dan terpuruk karena tidak diberi kesempatan untuk belajar akibat tidak mempunyai dana untuk membayar biaya pendidikan.
Ketiga, pemiskinan sistematis. Bagi orang kaya, biaya pendidikan semahal apa pun, mungkin tidak menjadi masalah. Artinya, orang kaya dengan kekayaannya akan mempunyai peluang untuk mengenyam pendidikan hingga yang tertinggi sekalipun. Dengan berbekal pendidikan tinggi mereka akan lebih mudah mendapatkan pekerjaan/jabatan yang layak dalam rangka meraih kehidupan yang tinggi.
Hal sebaliknya justru menimpa masyarakat yang berekonomi lemah. Dengan minimnya dana yang dimiliki mereka, kesempatan mereka untuk mengenyam pendidikan setinggi mungkin tidak akan terlaksana. Kalau pun mereka dapat bersekolah, paling banter hanya pada jenjang pendidikan dasar. Dengan hanya berbekal pendidikan dasar, mereka tentu akan sangat kesulitan mendapatkan pekerjaan dengan kompensasi kelayakan hidup yang tinggi.
Kondisi seperti di atas sesungguhnya tengah dialami oleh sebagian—jika tidak dikatakan sebagian besar—masyarakat kita. Mereka adalah kelompok masyarakat yang berada di bawah garis kemiskinan. Dengan pendidikan yang mahal, jelas akan sulit bagi mereka untuk meningkatkan tarap hidup mereka sehingga mereka akan tetap menjadi orang-orang miskin. Bagaimana mungkin mereka mampu memperbaiki kehidupannya? Boro-boro untuk sekolah, untuk makan besok saja mereka harus pusing tujuh keliling memikirkan agar bisa mendapatkan uang sekadar untuk mengsi perut mereka.
Keempat, semakin terpinggirkannya golongan masyarakat yang selama ini telah terpinggirkan. Dengan kapitalisasi pendidikan, masyakarat pun akhirnya beranggapan bahwa pendidikan merupakan investasi. Jika investasi ditanamkan maka harus balik modal dan menuai keuntungan. Dari sini bisa dimengerti jika tarif praktik dokter, tarif konsultasi gizi, dan semua tarif yang terkait dengan keprofesian—yang keahliannya memerlukan pendidikan tinggi dengan mengeluarkan biaya yang cukup besar—akan dikenakan biaya tinggi pula. Kita pun bisa merasakan betapa tarif pengobatan yang ada mencekik leher; begitu pula tarif-tarif yang lain.
Demikian juga bagi mereka yang duduk dalam instansi-instansi pemerintah ataupun swasta. Konsepsi yang dibawa mereka juga sama. Investasi harus balik modal dan untung. Standar kompensasi gaji yang tidak proporsional akhirnya mendorong setiap orang untuk melakukan hal-hal yang bertentangan dengan syariat. Manipulasi, korupsi dan kolusi akhirnya menjadi ‘rahasia umum’. Praktik-praktik tersebut akhirnya menjadi hal yang ‘tahu sama tahu’.
Dari sinilah akhirnya kebobrokan demi kebobrokan pelaksanaan pemerintahan bermunculan. Pemimpin tidak lagi berupaya melayani rakyatnya, namun sebaliknya, rakyat harus melayani pemimpin. Jika hal ini terjadi maka bisa dibayangkan betapa hancur-leburnya tatanan kehidupan bermasyarakat.

Peran Negara dalam Pendidikan Umat
Dalam pandangan Islam, pendidikan adalah salah satu bentuk pelayanan pemerintah kepada rakyat yang wajib diwujudkan. Artinya, penyelenggaraan pendidikan untuk rakyat sepenuhnya menjadi tanggung jawab pemerintah, bukan yang lain. Dengan kata lain, pendidikan adalah hak rakyat yang harus dipenuhi oleh pemerintah. Sebagai bentuk pelayanan yang wajib diberikan kepada rakyat, pemerintah tentu tidak selayaknya membebankan biaya penyelenggaraan pendidikan tersebut kepada rakyat. Rasulullah saw. bersabda:
«اَلإِمَامُ رَاعٍ وَ هُوَ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَاعِيَتِهِ»
Seorang imam (khalifah/ kepala negara) adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyat; ia akan dimintai pertanggungjawaban atas urusan rakyatnya. (HR al-Bukhari dan Muslim).

Imam Ibn Hazm dalam kitabnya, al-Ahkâm, menjelaskan bahwa seorang kepala negara (khalifah) berkewajiban untuk memenuhi sarana-sarana pendidikan, sistemnya, dan orang-orang yang digaji untuk masyarakat. Dengan demikian, negara harus berupaya secara optimal guna terwujudnya sistem pendidikan yang memadai lagi gratis.
Pengelolaan sumberdaya alam secara optimal; penutupan kebocoran anggaran pemerintah akibat praktik korupsi dan kolusi, efisiensi pembiayaan kebutuhan negara yang tidak mendesak lagi perlu; dll akan sangat membantu subsidi sistem pendidikan.
Keterbatasan dana yang selalu dialami pemerintah pada hakikatnya lebih disebabkan oleh praktik-praktik di atas yang tumbuh subur dan sukar untuk diberantas. Semua itu telah mengakibatkan terjadinya pemborosan (inefisiensi) anggaran belanja negara.
Lebih dari sekadar terselenggaranya pendidikan gratis atau sangat murah bagi rakyat, pendidikan itu sendiri haruslah ditujukan dalam rangka membekali akal masyarakat dengan pemikiran dan ide-ide yang sehat, baik yang berkaitan dengan akidah maupun hukum. (Abdurrahman al-Bagdadi, Sistem Pendidikan di Masa Khilafah Islam, 1996). Hal itu hanya mungkin diwujudkan dengan cara menyelenggarakan sistem pendidikan yang islami. Dengan begitu, ide-ide atau pemahaman-pemahaman yang sesat lagi batil dapat diberantas.
Allah Swt. berfirman:
﴿أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ﴾
Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki? Hukum siapakah yang lebih baik daripada hukum Allah bagi orang-orang yang yakin. (TQS. al-Maidah [5]: 20).

Marilah kita galang kesatuan semua komponen kaum Muslim di negeri ini; baik sipil maupun militer, partai maupun non-partai, mahasiswa, pelajar, buruh, petani, dan nelayan, para ulama, para santri, para budayawan, para wartawan, para cendekiawan, serta para bisnisman dan hartawan.
Sudah saatnya seluruh kaum muslimin berbicara kepada penguasa di negeri ini, menyampaikan nasihat yang benar. Bahwa pendidikan seluruh rakyat adalah tanggung jawab negara. Rasulullah saw. bersabda:
«مَا مِنْ وَالٍ يَلِيْ رَعِيَّةً مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ فَيَمُوْتُ وَهُوَ غَاشٌ لَهُمْ اِلاَّ حَرَّمَ اللهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ»
Tidaklah seseorang yang diberi jabatan mengurusi rakyat muslim lalu dia mati dalam keadaan menipu mereka, melainkan Allah mengharamkan surga darinya. (H.R. Bukhari dan Muslim).[]

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "PENDIDIKAN MAHAL, DIMANA TANGGUNG JAWAB NEGARA? "