“Ketertinggalan” Pendidikan Dunia Muslim

 
“Di masa (kehilafahan) Ma’mun fakultas kedokteran di Baghdad sangat aktif. Rumah sakit umum bebas-biaya dibuka di Baghdad semasa Khalifah Haroon ar Rasheed. Para dokter dan ahli bedah ditunjuk untuk memberi kuliah kepada mahasiswa kedokteran dan mengeluarkan ijazah bagi lulusannya “(Sir John Bagot Glubb)
Laporan yang menganalisa kondisi pendidikan di dunia muslim oleh Bank Dunia berakhir Februari lalu. Kesimpulan studi tersebut menyatakan bahwa pendidikan di Afrika Utara dan Timur Tengah tertinggal jauh dibawah daerah regional lainnya. Apabila hendak menjawab permasalahan pengangguran maka reformasi pendidakan sudah sangat diperlukan. Lebih jauh lagi laporan tersebut menyebut bahwa tingkat pengangguran di dunia Arab adalah 14%, angka yang cukup tinggi di dunia, kecuali sub sahara Africa, dengan angka tertinggi di daerah Palestina sebesar hampir 26%.
Pejabat senior Bank Dunia, Marwan Muasher yang juga terlibat dalam penulisan laporan tersebut menyebutkan bahwa reformasi sistem pendidikan juga terkait erat dengan pengembangan ekonomi, terutama di daerah yang jumlah penduduk usia muda sangat tinggi. “Dunia Arab ini adalah daerah yang 60% penduduknya berusia dibawah 30 tahun . Tidak kurang dari 100 juta ladang pekerjaan harus diciptakan dalam jangka waktu 10-15 tahun ke depan di dunia arab ini, Kalau kita ingin ciptakan pekerjaan baru, maka harus dimulai dengan reformasi pendidikan,’ begitu jelasnya.
Laporan lain yang diterbitkan di bulan Januari oleh Organisasi Pendidikan Budaya dan Sains Liga Arab yang berbasis di Tunisia menyebutkan bahwa 30% dari sekitar 300 juta orang di Dunia Arab masih buta huruf.
Saat ini dunia muslim memang tidak memberikan kontribusi bermakna di bidang teknologi. Hingga kini situasi tidak membaik dan penuh anarki akibat penguasa-penguasanya, yang mewarisi tampuk pimpinan seumur hidup, tidak memberikan perhatian yang serius terhadap kebutuhan pendidikan rakyatnya sehingga cengkeraman kemiskinan pun semakin merajalela.
Laporan tersebut juga menyebutkan bahwa hanya 5% dari GDP dan 20% dari anggaran pemerintah dikeluarkan untuk kepentingan pendidikan selama 40 tahun terakhir. Beberapa kemajuan nampak terjadi di negeri-negeri Teluk dan Mesir, dimana anak-anak diwajibkan untuk masuk sekolah dan diberikan kesempatan untuk melanjutkan pendidikan formalnya. Maka hasil pembelajaran pun nampak di negeri-negeri tersebut.
Namun secara keseluruhan, penambahan jumlah sumber daya manusia (SDM) belum dioptimalkan. Pengangguran masih tinggi dikalangan lulusan baru, sementara penyerapan tenaga kerja yang berpendidikan masih tergantung kepada pemerintah saja. Maka bisa dimengerti bahwa usaha pertumbuhan SDM dan ekonomi, distribusi penghasilan, dan pengurangan kemiskinan terjalin secara lemah.
Disini tampaklah bahwa penguasa muslim sudah bangkrut intelektualitasnya, hilang visinya terhadap dunia muslim, dan menerapkan kebijakan yang justru menambah tumpukan masalah.
Keluarga kerajaan Saudi Arabia menghabiskan jutaan dollar tiap tahun di Mal dan jalan-jalan ke luar negeri. Di Mesir, Hosni Mubarak menghabiskan dana pembangunan istana dan Jordan menyibukkan diri dengan daur-ulang energi ketimbang kesejahteraan rakyatnya. Pendidikan bukanlah prioritas bagi para penguasa muslim. Kalaupun ada segelintir rakyat yang terdidik dan memiliki kompetensi, mereka pun justru bekerja dan berkontribusi di luar dunia Muslim itu sendiri.
Di belahan dunia Barat, kurikulum pendidikan dibangun dengan nilai-nilai sekuler. Bagi Inggris dan Amerika Serikat khususnya, jatuh bangun peradabannya tergantung dari keberadaan rakyat yang memiliki kompetensi tinggi dan keahlian handal untuk bisa mewujudkan tujuan dan kebijakan dalam dan luar negeri yang didasarkan nilai-nilai yang mereka emban.
Sebenarnya catatan sejarah menunjukkan bahwa dunia muslim pernah berkontribusi terhadap ilmu dan teknologi yang luar biasa. Adalah kekhilafahn Abbasiyah yang pertama kalinya memformalkan pendidikan di dunia muslim yang menjadi cikal bakal masa keemasan Islam, yang ditandai dengan kemajuan pesat di bidang ilmiah.
Pusat pemerintahan kekhilafahan adalah surga bagi ilmuwan, penyair, dokter, dan filosof. Pembelajaran and pendidikan maju pesat tanpa ada pembedaan ras, agama, suku, dan warna kulit.
Masjid pun menjadi fondasi institusi pendidikan di era kekhilafahan. Akan tetapi karena volume program pendidikan meningkat pesat, tumbuhlah Madrasah –yang mirip dengan sistem College di masa sekarang. Sebelum adanya madrasah, pendidikan berlangsung di mesjid secara informal. Rakyat berkumpul mencari ilmu dengan dibimbing oleh para ulama senior. Ulama inilah yang mulai memberikan program kuliah atau majalis.
Semakin banyaknya madrasah, lahirlah Jami’a (universitas). Buku Guinness Book of World Record mencatat University of Al-Karouine (jami’at al Qarawiyyin) di Fez, Maroko, sebagai universitas tertua di dunia yang berdiri di tahun 859 [1]. Setelah itu Al Azhar berdiri di Kairo, Mesir, di abad 10 yang menawarkan beberapa jurusan akademis termasuk program paska sarjana.
Format pendidikan di dunia muslim inipun akhirnya ditiru di Eropa, yang tampak dari kesamaan beberapa istilah akademik. Chair di sistem pendidikan eropa berarti Kursi dari bahasa Arab yang bermakna tempat dimana dosen duduk dan mengajar.
Gelar doctoral di bahasa Latin juga berarti ‘sertifikat kompetensi untuk mengajar’ diterjemahkan langsung dari bahasa Arab Ijazah at Tadris. Untuk meraih gelar ini, pelajar harus berguru dan menyelesaikan suatau masalah dengan memberikan fatwa. Fatwa tersebut harus bisa ia pertahankan di depan para dosen senior lainnya.
Bahkan, model upacara kelulusan pun sangat mirip dengan upacara akademis yang terjadi di dunia muslim. Jubah yang dikenakan disebut Jubbatul Faqih, dan diberikan bersamaan dengan pemberian ijazah.
Kekhilafahan juga membangun rumah sakit umum (untuk menggantikan kuil penyembuhan atau kuil peristirahatan), rumah sakit jiwa, perpustakaan umum, universitas, dan pusat observasi astronomi negara sebagai pusat penelitian (padahal saat itu pusat observasi biasanya dimiliki oleh milik pribadi di masa sebelumnya).
Sir John Bagot Glubb menulis,” Di masa (kehilafahan) Ma’mun fakultas kedokteran di Baghdad sangat aktif. Rumah sakit umum bebas-biaya dibuka di Baghdad semasa Khalifah Haroon ar Rasheed. Para dokter dan ahli bedah ditunjuk untuk memberi kuliah kepada mahasiswa kedokteran dan mengeluarkan ijazah bagi lulusannya. Di Mesir rumah sakit pertamanya di buka di tahun 872M, yang diikuti dengan berdirinya rumah-rumah sakit lainnya di wilayah kekuasaan Islam dari Spanyol, Maroko hingga Persia.
Di samping madrasah yang berkecimpung di kedokteran, lahir madrasah di bidang hukum. Beberapa kalangan bahkan menduga bahwa ‘fakultas hukum yang dikenal sebagai Inns of Court di Inggris” adalah turunan dari Madrasah yang mendalami Hukum dan Peradilan Islam [2].
Dasar sistem pendidikan Islam adalah untuk membentuk masyarakat dengan Islam sehingga mereka yakin dengan kebenarannya dan mampu mengembannya ke seluruh penjuru dunia. Muslim di masa lalu belajar dan mendalami nilai Islam dengan kesadaran yang tinggi dan visi yang jelas. Pengetahuan yang mereka dapatkan meluaskan pandangan mereka, membangun persepsi, memperkaya mental, dan menjadikan mereka sebagai guru bagi manusia lainnya.
Kesimpulannya, muslim di masa lalu menjadikan islam sebagai motivator utama dalam mengembangkan kehidupannya. Ini yang menjadikan mereka sebagai peradaban adidaya yang diperhitungkan di masanya dan menyumbangkan khazanah pengetahuan di berbagai bidang ilmu dan pendidikan. Satu-satunya langkah ke depan yang harus ditempuh, tidak lain adalah untuk belajar dari sejarah dan memahami apa-apa yang generasi awal umat islam terdahulu pahami, yaitu keberhasilan di dunia dan akhirat hanya bisa terjadi dengan Islam. (Rusydan : sumber : www.khilafah.com
[1] The Guinness Book Of Records, Published 1998, ISBN 0-5535-7895-2, P.242
[2] Makdisi, John A. (June 1999), “The Islamic Origins of the Common Law”, North Carolina Law Review 77 (5): 1635- 1739

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "“Ketertinggalan” Pendidikan Dunia Muslim"